CIKAL BAKAL KERAJAAN MATARAM
Judul : Senopati Panembahan : Geger Ramalan Sunan Giri
Penulis : Gamal Handoko
Penerbit : Diva Press
Kota Penerbit : Yogyakarta
Tahun terbit : 2009
Tebal : 400 halaman
Harga : -
Buku Novel ini seperti kelanjutan dari novel Jaka Tingkir; Jalan Berliku Menjemput Wahyu. Dimana prabu Hadiwijaya belum berkuasa dan kerajaan Pajang belum berdiri.
Ki pamanahan merasa kecewa berat karena hadiah sayembara ketika mengalahkan Arya Penangsang yaitu tanah mataram belum juga diberikan sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir), padahal Ki Penjawi yang membantu ki Pamanahan mengalahkan Arya Penangsang sudah menerima tanah pati, Sultan Hadiwijaya seperti mengulur-ulur untuk memberikannya. Beliau teringat bahwa wirayatuya sunan Giri bahwa akan lahir “Matahari Perkasa” yang akan menyaingi dirinya, sehingga ia enggan memberikan hutan mentaok (mataram) kepada Ki Pamanahan. Akan tetapi, masalah itu diketahui oleh Sunan Kalijaga yang tidak lain adalah guru mereka berdua. Dengan mediasi Sunan Kalijaga akhirnya hutan mentaok diberikan kepada Ki Pamanahan, disertai janji setia Ki Pamanahan terhadap Sultan Hadiwijaya sampai akhir hayatnya. Tetapi janji itu berlaku untuk dirinya dan Sultan Hadiwijaya saja, tidak berlaku bagi anak keturunan Ki Pmanahan.
Akhirnya setelah kepastian tanah tanah mataram diberikan kepadanya, Ki Pamanahan beserta keluarga, dan kerabat Sela berpindah ke hutan mentaok. Setelah sampai tujuan mereka bekerja keras membersihkan hutan untuk membuat perkampungan, ladang, sawah, dan sebagainya. Ternyata tanah mataram begitu subur, sehingga mataram menjadi terkenal. Orang-orang pun berdatangan untuk tinggal di mataram, tentunya dengan seizin Ki Pamanahan selaku pimpinan mataram waktu itu.
Sepeninggal Ki Pamanahan tampuk kepemimpinan mataram diberikan kepada Danang Sutawijaya (putra Ki Pamanahan sekaligus anak angkat Sultan Hadiwijaya). Akhirnya ia diberi gelar Senapati Ing Alaga sayidin Natagama oleh Sultan Hadiwijaya. Di tangan Danang Sutawijaya mataram menjadi maju dan makmur, bahkan kekuatan tentara dan pertahanan mataram pun dilakukannya. Senapati pun berusaha mewujudkan Wirayatuya Sunan Giri, yang menguasai seluruh tanah jawa, seperti Pajang, Giri, Bang Wetan, Kediri, Madiun, dan lainnya.
Perlawanan pun dilakukan oleh mataram ketika menghadang rombongan prajurit Pajang yang membawa Adipati Mayang (saudara ipar) senapati yang akan dibuang ke wilayah Asem Arang pesisir utara Jawa. Dengan bantuan Pagelen dan Kedu akhirnya Adipati Mayang pun bebas. Akan tetapi, prajurit pajang yang selamat segera melaporkan ke Sultan Hadiwijaya, beliau pun murka dan berusaha menyerang pajang. Penyerangan itupun urung dilakukan, karena berbagai kejadian alam dan hadiwijaya teringat, bahwa yang akan menyerang Mataram akan mendapatkan bilahi. Dalam perjalanan pulang beliau terjatuh dari tunggangan gajahnya dan beliau jatuh sakit akhirnya tak lama kemudian wafat.
Sepeninggal Hadiwijaya tampuk kekuasaan Pajang diberikan kepada Adipati Pengiri (demak), atas usul Sunan Kudus. Akan tetapi, terpilihnya Adipati Pengiri, tidak disetujui oleh semua pejabat yang hadir saat itu. Mereka lebih memilih Pangeran Benawa sebagai keturunan sah Sultan Hadiwijaya. Sunan Kudus lebih memilih untuk menaruh Pangeran Benawa menjadi Adipati Jipang. Pada masa kepemimpinan Adipati Pengiri, Pajang menjadi tidak aman banyak terjadi perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, dan bahkan rakyat pajang menjadi menderita karena kesewenang-wenangan Adipati Pengiri. Pangeran Benawa (Jipang) dan Senapati Ing Alaga bergabung untuk menyerang pajang karena keprihatinannya atas keadaan rakyat pajang. Mereka pun menyusun rencana dan mempengaruhi para prajurit pajang untuk membantu Jipang dan Mataram. Dengan bantuan para prjurit pajang sendiri akhirnya Pajang dapat ditaklukkan dan Adipati Pengiri dibuang ke tempat asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa akhirnya diangkat menjadi Sultan Pajang.
Senopati akhirnya kembali ke Mataram dan mendirikan kesultanan dibantu Ki Juru Mertani sebagai paman sekaligus penasehatnya, dia pun meluaskan daerah taklukkannya dengan dibantu para sekutu yang mengabdi ke Mataram, termasuk Pajang juga didalamnya. Daerah kekuasaan Mataram pun semakin luas. Pada saat penyerbuan ke Bang Wetan, daerah yang tidak mau takluk pada Mataram. Senapati jatuh sakit dan berpesan kepada Adipati Mandakara (paman) dan Mangkubumi untuk menunjuk Mas Jolang salah satu anaknya untuk menggantikannya, senapati pun berujar agar Adipati mengawasi Mas Jolang tetap mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat Mataram, menjadikan Mataran kian baik, kian kuat perkasa ditangannya. Dikatakan bahwa Mas Jolang yang kelak akan menurunkan raja agung Mataram.(hal, 394)
Novel ini bisa membawa pembaca ikut dalam alur cerita, dapat juga dijadikan referensi bagi pembaca yang ingin mengetahui tentang sejarah Jawa, cerita menarik, bahasa juga mudah dipahami. Cerita juga mengajarkan bahwa dalam usaha apapun kita tidak boleh lupa untuk berdoa, berdzikir, bertawakal, dan selalu berikhtiar kepada Allah Swt sebagai penguasa alam semesta, sehingga akan mendapatkan ganjaran yang pantas sesuai dengan perbuatannya.
Berbagai kelemahan pun terdapat dalam novel ini, bahwa banyak istilah Jawa yang tidak dimengerti oleh pembaca seperti kata bilahi, lawungan, wanti-wanti, kajineman, tpa ngeli, sreti, prunan, palimbahan, dan masih banyak yang lainnya. Dalam cerita banyak terjadi kontradiktif penokohan senopati satu sisi menceritakan kebaikan dan kemurahan hati senopati, disisi yang lain kelicikan, kekurang ajaran, dan keculasan senopati banyak kita temui disini. Melihat kejadian demikian, sejarah yang ditulis sepertinya lebih memihak kepada penguasa, ketika ditulis.
Seperti yang diketahui bahwa peran Ki Juru Mertani dalam cerita juga sangat dominan dan tetap eksis dari zaman Demak, Pajang hingga Mataram.